Aliran-aliran Kalam dalam Islam

Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Tauhid
Dosen Pengampu: DR. Hasyim Muhammad, M.Ag
Asisten Dosen  : Bapak Rusmadi









Disusun Oleh:

M. Saiful Amri                    133611050
Nur Aini Fitriyah                133611052
Setya Suryaningsih             133611057
M. Wildan Fahruddin        133611070
Febri Susilowati                   133611077                             


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013


I. PENDAHULUAN

Tentang problem aliran-aliran, pada masa Nabi Muhammad SAW sampai pada masa Ustman belum muncul. Tetapi baru muncul pada masa pemerintahan Ali ra. Kelompok Khawarij, yakni suatu kelompok yang semula mendukung Ali kemudian memisahkan diri dari Ali karena tidak menyetujui sikap Ali yang menerima tahkim (arbitrase ) dalam menyelesaikan konflik antara Ali dan Mu’awiyah pada saat perang siffin.[1]
Kemudian muncul aliran murji’ah yang memandang orang muslim yang melakukan dosa besar tidak kafir, ia masih mukmin. Kemudian muncul aliran yang lain, yakni Mu’tazilah , Qadariyah, Maturidiyah, Asy’ariyah, Maturidiyah dll.
Namun didalam makalah ini pembahasan dibatasi hanya tentang Aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah.

II.  RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana sejarah munculnya berbagai aliran  dalam islam?
2.      Bagaimana aliran Mu’tazilah dalam pandangan  dalam islam?
3.      Bagaimana aliran Asy’ariyah dalam pandangan  dalam islam?
4.      Bagaimana aliran Maturidiyah dalam pandangan  dalam islam?

III.   PEMBAHASAN
A.       Sejarah munculnya berbagai Aliran  dalam Islam
Timbulnya aliran-aliran kalam Islam tidak terlepas dari fitnah-fitnah yang beredar setelah wafatnya Rasulullah SAW. Setelah Rasulullah Saw wafat peran sebagai kepala Negara digantikan oleh para sahabat-sahabatnya, yang disebut khulafaur Rasyidin yakni Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Namun, ketika pada masa Utsman bin Affan mulai timbul adanya perpecahan antara umat Islam yang disebabkan oleh banyaknya fitnah yang timbul pada masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang ditimbulkan pada masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik sampai pada masalah teologis. 
Pada zaman khalifah Abu Bakar ( 632-634 M ) dan Umar bin Khattab ( 634-644 M) problema keagamaan juga masih relative kecil termasuk masalah aqidah. Tapi setelah Umar wafat dan Ustman bin Affan naik tahta ( 644-656 M) fitnah pun timbul. Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi asal Yaman yang mengaku Muslim, salah seorang penyulut pergolakan. Meskipun itu ditiupkan, Abdullah bin Saba’ pada masa pemerintahan Ustman namun kemelut yang serius justru terjadi di kalangan Umat Islam setelah Ustman mati terbunuh ( 656 M) oleh pemuka-pemuka pemberontakan dari Mesir.
Setelah Utsman wafat, Ali sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang ke empat. Tapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari ‘Aisyah. Tantangan dari ‘Aisyah – Talhah – Zubeir ini dipatahkan Ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak di tahun 656 M. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.[2]
Tantangan kedua datang dari Mu‘awiyah. Ia tak mau mengakui Ali sebagai khalifah. Ia menuntut Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Utsman, bahkan ia menuduh Ali turut ikut campur dalam soal pembunuhan itu.
Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di Siffin, berakhir dengan tahkim ( Arbritrase ) karena tangan kanan Mu’awiyah Amr Ibn al-’As yang terkenal sebagai orang licik minta berdamai dengan mengangkat al-Quran keatas.
Sikap Ali yang menerima dan mengadakan arbitase ini, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, dan tidak disetujui            oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu, tidak dapat diputuskan oleh arbitase manusia. Putusan hanya datang dari Allah. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum dari Allah) atau la hakama illa Allah (tidak ada pengantar selain dari hukum Allah), menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali telah berbuat salah, oleh karena itu mereka meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah islam terkenal dengan nama al-Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri. Karena memandang Ali bersalah dan berbuat dosa, mereka melawan Ali. Ali sekarang menghadapi dua musuh, yaitu Mu’awiyah dan Khawarij. Karena selalu mendapat serangan dari kedua pihak ini Ali terlebih dahulu memusatkan usahanya  untuk menghancurkan Khawarij. Setelah Khawarij kalah Ali terlalu lelah untuk meneruskan pertempuran dengan Mu’awiyah. Mu’awiyah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah Ali wafat, ia dengan mudah dapat memperoleh pengakuan sebagai khalifah umat Islam pada tahun 661 M. Persoalan-persoalan politik yang terjadi ini akhirnya menimbulkan persoalan kalam. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Khawarij menganggap Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang telah menerima arbitase adalah kafir. Persoalan  orang yang berbuat dosa inilah yang kemudian mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan kalam selanjutnya dalam islam. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran kalam yaitu Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah. Aliran Khawarij mengatakan bahwa orang yang telah berbuat dosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari agama islam dan ia wajib dibunuh. Kaum Murji’ah mengatakan bahwa orang yang telah melakukan dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT yang mengampuninya atau tidak. Sedangkan Mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima pendapat diatas. Bagi mereka orang yang telah berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin.
Dalam keadaan seperti ini timbullah dua aliran  yang terkenal dengan nama al-qadariah dan al-jabariah. Menurut al-qadariah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Sebaliknya dengan al-jabariah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.Selanjutnya, kaum Mu’tazilah membawa mereka untuk mengambil kalam liberal, dalam arti bahwa sungguhpun kaum Mu’tazilah banyak mempergunakan rasio mereka, mereka tidak meninggalkan wahyu. Aliran mu’tazilah yang bersifat rasional ini menimbulkan tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama golongan Hambali, yaitu pengikut- pengikut mazhab Ibn Hambal. Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran  tradisional yang disusun oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (932 M) yaitu al-Asy’airah. Disamping aliran asy’ariah timbul pula di Samarkand 'perlawanan menentang aliran Mu’tazilah yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi. Aliran ini dikenal dengan nama  al-Maturidiah yang mana tidak  bersifat setradisional al-Asy’ariah, akan tetapi tidak pula seliberal Mu’tazilah. Selain Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi ada lagi seorang teolog dari Mesir yang juga bermaksud menentang ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah. Teolog itu bernama al-Tahawi (933 M) yang mana ajaran-ajaran ini tidak menjelma sebagai aliran kalam Islam.[3]
Dengan demikian aliran-aliran kalam penting yang timbul dalam islam adalah aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah. Aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dan keduanya disebut Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya. Dengan masuknya kembali paham rasionalisme kedunia islam yang mana sekarang masuk melalui kebudayaan modern. Banyak ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali, khususnya dikalangan kaum intelegensia islam yang mendapat pendidikan Barat.

B.  Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan kalam yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasonalis Islam”.
Kata mu’tazilah berasal dari kata I’tazala (memisahkan). Dalam referensi ilmu , nama itu berpusat dari peristiwa pemisahan diri Wasil ibn ‘Ata’ dan temannya, “amr ibn ‘Ubaid dari gurunya yang bernama Hasan al-Bisri. Wasil murid Hasan al-Bisri yang senangtiasa mengikuti pengajiannya di masjid Basrah. Suatu saat ada orang yang berdosa besar. Sudah diketahui bahwa pendapat Khawarij menyatakan kafir, sedang Murji’ah menyatakan mukmin. Katika al-Basri berpikir, wasil menyatakan: “orang yang berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir, tetapi berposisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian Wasil berdiri menjauhkan diri dari al-Basri, pergi ketempat lain di masjid itu, dan mengulangi pendapatnya tersebut. Atas peristiwa tersebut, al-Basri menyatakan: “Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazala ‘anna)”.[4] Dengan demikian Wasil dan teman-temannya disebut Mu’tazilah. Tentang penanaman Mu’tazilah ini terdapat beberapa versi, namun sebagai tanda bagi aliran Ilmu kalam yang rasional dan liberal setelah perisiwa Wasil Ibn ‘Ata’ (81-131 H di Madinah), dan jauh sebelum itu telah terdapat kata ‘itazala, Mu’tazilah.[5] Wasil disebut Syaikul Mu’tazilah wa qadimuna,[6] pemimpin dan pendahulunya.

v Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah:
1.    Wasil bin ‘Ata al Ghazzal (80-131 H/699-748 M)
2.      Abdul Huzail Muhammad bin al Huzail al ‘Allaf (135-226 H/752-840 M)
3.      Ibrahim bin Sayyar bin Hani an Nazzaham (wafat 231 H/845 M)
4.      al Jubbai (wafat 303 H/915 M)
5.      Basyr bin al Mu’tamir (wafat 226 H/840 M)
6.      al Khayyath  (wafat 300 H/912 M)
7.      Al-Qadli Abdul Jabbar (wafat 412 H/1024 M)
8.      Az-Zamakhasayari (467-538 H/1075-1144).[7]
v  Ajaran Pokok Mu’tazilah
1.         At-Tauhid (Keesaan Allah)
At-Tauhid (Keesaan Allah) sebagai pokok dan ajaran pertama dalam islam. Namun, karena Mu’tazilah telah menafsirkan dan mempertahankan sedemikian jauh, maka prinsip ini dipertalikan kepadanya. Mungkin mereka maksudkan untuk menghadapi golongan Rafidlahyang ekstrim dan menggambarkan Tuhan dalam bentuk jisim, bias diindera, dan golongan-golongan agama yang dualism dan trinitas. Kelanjutan dari prinsip ini mereka nyatakan :
a.         Tidak mengakui sifat-sifat Tuhan sebagai suatu qadim yang lain dari pada dzat-Nya.
b.        Al-Qur’an adalah makhluk, ullah adalah makhluk, yang dijadikan Tuhan saat dibutuhkan. ullah tidak pada zat Tuhan, tetapi diluar-Nya.
c.         Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala akhirat.
d.        Mengingkari arah bagi Tuhan, dan menakwilkan ayat-ayat yang mengesankan adanya persamaan Tuhan dengan Manusia.

2.     Al –‘Adl (keadilan Tuhan)
Semua orang muslim dan golongannya mempercayai terhadap keadilan Tuhan. Tetapi karena Mu’tazilah memperdalam arti keadilan dan menentukan batas-batasnya, sehingga menimbulkan permasalahan. Bagi Mu’tazilah, keadilan Tuhan adalah meletakkan pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya. Selanjutnya disebutkan:
a.     Tuhan menciptakan makhluk berdasarkan tujuan dan hikmah kebijaksanaan.
b.     Tuhan tidak menghendaki keburukan dan tidak memerintahkannya.
c.     Manusia mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan perbuatannya. Sebab dengan cara demikian, dapat dipahami adanya perintah, janji dan ancaman, pengutusan Rasul, tidak ada kedzaliman bagi Tuhan.
d.     Tuhan mesti mengerjakan yang baik dan terbaik. Sebab itu menjadi kewajiban Tuhan untuk menciptakan manusia, memerintahkan dan membangkitkankembali manusia.
3.  Al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman)
Prinsip ini merupakan kelanjutan dari prinsip tentang keadilan Tuhan. Mu’tazilah meyakini bahwa janji Tuhan memberi pahala kepada orang yang taat pasti terjadi, dan siksa bagi  orang yang maksiat pasti dilaksanakan. Pendapat Mu’tazilah berbeda dengan Murji’ah yang menyatakan, kemaksiatan tidak dipengaruhi keimanan. Jika ini dibenarkan berarti ancaman Tuhan tidak ada artinya, dan ini mustahil. Sebab, Tuhan tidak akan menyalahi janji-Nya. Dari sini Mu’tazilah mengigkari adanya syafa’at pada hari kiamat. Sebab, menyalahi adanya prinsip janji dan ancaman.
Almanzilah bainal Manzilatain (tempat diantara dua tempat). Prinsip ini menyebabkan Wasih Ibn ‘Ata’ memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Basri. Menurutnya, orang islam yang melakukan dosa besar (selain syirik) bukan lagi menjadi mukmin, dan juga tidak menjadi kafir. Adapun tempat di akhirat tetap di neraka, tetapi lebih ringan siksaannya daripada orang kafir. Prinsip ini , mereka dasarkan pada ayat 31 dan 110 surat al-Isra’, dan ayat 137 surat al-Baqarah.
4.     Al-Amru bil ma’ruf wannabyu anilmunkar (memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan).
Prinsip ini lebih banyak berkaitan dengan amalan lahir dan bidang fiqh daripada lapangan aqidah serta ketauhidan. Seperti dalam ayat 104 surat Ali Imran, ayat 17 surat Luqman.

C.    Aliran Asy’ariyah
Pendirinya adalah Abul Hasan Ali Ibn Isma’il al- Asy’ari. (lahir di Basrah tahun 873 M dan wafat di Baghdad tahun 935 M), keturunan sahabat Nabi, Abu Musa al-Asy’ari. Ia dididik dan dibesarkan dalam keluarga Mu’tazilah, ayah tiri dan gurunya. Bahkan dalam beberapa kesempatan al-Jubba’I mempercayakan untuk berdialog dengan lawan kepadanya. Dengan alasan yang tidak begitu jelas, setelah empat puluh tahun al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah. Biasanya yang disebut alasannya adalah ia mengasingkan diri selama 15 hari, kemudian ke masjid. Ia menyatakan pada suatu malam bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW menyatakan yang benar adalah mazhab Ahlul Hadits, dan Mu’tazilah salah.[8] Maka sejak itu ia meninggalkan kepercayaaan lama (Mu’tazilah) dengan kepercayaan baru (Asy’ariyah).
v  Tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah
1.     Al- Baihaqi (wafat 403 H)
2.     Ibnu Furak (wafat 406 H)
3.     Ibn Ishaq al-Isfaraini (wafat 418 H)
4.     Abdul Qadir al-Baghdadi (wafat 429 H)
5.     Imam al-Haramain al Juwaini (wafat 478 H)
6.     Abul Muzaffar al-Isfarayini (wafat 478 H)
7.     Al Ghazali (wafat 505 H)
8.     Ibnu Tamart (wafat 524 H)
9.     Asy-Syahrastani (wafat 548 H)
10.  Ar-Razi (wafat 1209 M)
11.  Al-Iji (wafat 756 H)
12.  As-Sanusi (wafat 895 H)[9]
v  Ajaran Pokok Asy’ariyah
Sebagai orang yang pernah menganut faham Mu’tazilah, Asy’ari tidak dapat memisahkan diri dari pemakaian akal atau argumentasi rasional. Ia menentang orang-orang yang mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal agama dianggap suatu kesalahan. Sebaliknya, ia juga mengingkari orang-orang yang berlebihan dalam menghargai akal pikiran semata sebagaimana aliran Mu’tazilah.
Pokok-pokok ajaran al-Asy’ari yang menjadi I’titiqad Ahlussunnah wal Jamaah, antara lain:
1.             Tuhan mempunyai sifat.[10]
2.             AlQur’an bukanlah makhluk.
3.             Tuhan dapat dilihat di akhirat.
4.             Perbuatan – perbuatan manusia bukanlah diciptakan sendiri, tetapi diciptakan Tuhan.
5.             Tentang antromorphisme, menerima apa yang terdapat dalam nas, seperti Tuhan memiliki muka, tangan dan sebagainya tetapi tidak ditentukan bagaimana, yaitu tidak memiliki bentuk dan batasan.
6.             Tuhan berkuasa mutlak dan tidak ada satupun yang wajib bagi-Nya.
7.             Menolak posisi tengah (Almanzilah bainal Manzilatain).[11] Al-Asy’ari berpendpat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.

D.       Aliran Maturidiyah
Latar belakang lahirnya aliran ini, hampir sama dengan aliran Al-Asy’ariyah, yaitu sebagai reaksi penolakan terhadap ajaran dari aliran Muktazilah, walaupun sebenarnya pandangan keagamaan yang dianutnya hampir sama dengan pandangan Mu’tazilah yaitu lebih menonjolkan akal dalam sistem kalamnya.
Pendiri dari aliran ini adalah Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi yang lahir di Samarkand pada pertengahan kedua dari abad ke sembilan Masehi dan wafat pada tahun 332 H/944 M. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-pahamnya mempunyai banyak persamaan dengan paham-paham yang diajarkan oleh Abu Hanifah. Aliran kalam ini dikenal dengan nama Al-Maturidiyah, yang sesuai dengan nama pendirinya yaitu Al-Maturidi.[12]
Ada 3 tahapan yang harus dilalui aliran Maturidiyah dalam mengembangkan aliran ini yaitu: Tahapan pertama, tahapan pendirian (ta`sis) dengan tokohnya Abu Manshur al Maturidi. Tahapan Kedua, tahapan pembentukan (takwin). Yaitu ditandai dengan tersebarnya paham ini di Samarqand melalui tulisan-tulisan yang disisipkan dalam kitab-kitab fiqih madzhab Hanafi. Tahapan ketiga, yaitu fase penulisan dan pembukuan aqidah Maturidiyyah (500-700 H). Tahapan ini banyak dipenuhi dengan penulisan karya tulis yang berisi berbagai dalil untuk memberikan justifikasi atas aqidah Maturidiyyah.
Pada mulanya, aliran ini masih teguh pada satu kiblat yakni pemikiran-pemikiran dari pendirinya (al-Maturidi). Namun jauh setelah al-Maturidi meninggal, yakni cucu dari salah seorang murid al-Maturidi, yaitu Abu Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H) memberikan pemahaman yang bertentangan dengan pemikiran-pemikiran al-Maturidi. Sehingga banyak hal-hal yang berbeda dalam konsep ajaran yang diberikan oleh pendirinya dengan pemikiran al-Bazdawi itu sendiri. Maka dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, aliran Maturidiyah terpecah menjadi dua golongan besar yaitu pengikut setia al-Maturidi yang akhirnya disebut Maturidiyah Samarkand yang lebih condong pada ajaran Mu’tazilah dan pengikut al-Bazdawi yang disebut dengan Maturidiyah Bukhara yang lebh condong pada Asy’ariyah.
v  Tokoh-tokoh aliran Maturidiyah
1.        Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad Al-Maturidi.
2.        Abu al-yusr Muhammad Al-bazdawi.
3.        Al-Bayadi.
4.        Muhammad bin Zahid al Kautsari al Maturidi
5.        Abul Qasim al Hakim, dll.
v  Ajaran Pokok Maturidiyah
a.         Tuhan memiliki sifat-sifat. Maka Tuhan  mengetahui tidak dengan tidak dengan zat-Nya tetapi dengan pengetahuan-Nya.
b.        Manusialah yang mewujudkan perbuatannya. Maka sepaham dengan qadariyah, bukan Jabariyah.
c.         Menolak ajaran Mu’tazilah tentang as salah wa aslah. Namun menurutnya Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu.
d.        Menolak paham Mu’tazilah tentang kemakhlukan al-Qur’an tetapi ullah itu bersifat qadim.
e.     Orang yang berdosa besar masih mukmin. Soal dosanya terserah pada Tuhan di akhirat. Hal ini didasarkan pada Al-Qur’an Surah An-Nissa’:48. Dan Maturidiyah  juga menolak posisi tengah (al manzilah bainal manzilatain).
f.         Sependapat dengan Mu’tazilah tentang al-wa’du wal wa’id, janji dan ancaman Tuhan pasti terjadi.
g.        Masalah Antrophophisme, ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani harus ditakwilkan. Menurut al-Maturidi, wajah, tangan dan sebagainya harus diberi arti kiasan.[13]
h.        Allah dapat dilihat pada hari kiamat. Hal ini didasarkan pada Surah Al-Qiyamah: 22-23.
i.          Mengenai iman dan kufur, aliran Maturidiyah berpendapat iman adalah tashdiq bi al-qalb yaitu meyakini dan membenarkan dalam hal tentang keesaan Allah dan tashdiq bi al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal.

IV.        KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari makalah kami adalah :
A.    Persoalan yang melatar belakangi lahirnya berbagai aliran  adalah faktor-faktor politik, pada awalnya setelah khalifah Ustman terbunuh kemudian digantikan oleh Ali menjadi khalifah. Peristiwa menyedihkan ini dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar).
B.     Aliran Mu’tazilah adalah aliran Ilmu  yang rasional dan liberal. Aliran ini beranggapan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat dan manusia mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan perbuatannya.
C.     Aliran Asy’ariyah didirikan Abul Hasan Ali Ibn Isma’il al- Asy’ari, ia dididik dan dibesarkan dalam keluarga Mu’tazilah namun pada pada suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa yang benar adalah mazhab Ahlul Hadits, dan Mu’tazilah salah. Maka sejak itu ia meninggalkan kepercayaaan lama (Mu’tazilah) dengan kepercayaan baru (Asy’ariyah).
D.    Aliran Maturidiyah merupakan aliran sebagai reaksi penolakan terhadap ajaran dari aliran Muktazilah, walaupun sebenarnya pandangan keagamaan yang dianutnya hampir sama dengan pandangan Mu’tazilah yaitu lebih menonjolkan akal dalam sistem kalamnya. Pada mulanya, aliran ini masih teguh pada satu kiblat namun jauh setelah al-Maturidi meninggal, cucu dari salah seorang murid al-Maturidi, yaitu Abu Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H) memberikan pemahaman yang bertentangan dengan pemikiran-pemikiran al-Maturidi. Maka dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, aliran Maturidiyah terpecah menjadi dua golongan besar yaitu pengikut setia al-Maturidi yang akhirnya disebut Maturidiyah Samarkand dan pengikut al-Bazdawi yang disebut dengan Maturidiyah Bukhara.

V.      PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun, semoga bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi para pembaca. Kami menyadari masih banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki makalah kami selanjutnya.






[1] Harun Nasution, Kalam Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, cet V, Jakarta: UI-Press, 1972, hlm.5.
[2] Harun Nasution.Kalam Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, Hal.  4.

[4] Ghazali Munir, Ilmu , Aliran-aliran dan pemikiran, Semarang: RaSAIL Media Group, 2010, hlm.59
[5] Harun Nasution, Kalam Islam Aliran-aSejarah Analisis Perbandingan,cet. V . Jakarta: UI-Press. 1972. Hal.  39.
[6] Ahmad Mahmud Subhi, Fi Ilmil , Kairo: Darul Kutb al Jami’ah, 1969, hlm. 75-76.
[7] A. Hanafi,pengantar Theologi Islam, Jakarta: Dyajamurni,1967. Hal.69-72.
[8] Harun Nasution,Kalam Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, hlm. 65.
[9] A. Hanafi, pengantar Theology Islam, hlm. 107.
[10] http://www.inilahjalanku.com/aliran-/ tanggal 19/10/2013.pukul 21.23
[11] Ghazali munir, Ilmu , Aliran-Aliran dan pemikiran, Semarang: RaSAIL Media Group. 2010 hlm. 65
[13] Harun Nasution,Kalam Islam Aliran-aSejarah Analisis Perbandingan, hlm. 76-77

0 Response to " "

Posting Komentar