Maqamat dan Akhwal

MAQAMAT DAN AKHWAL
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Bpk. Agus Khunaefi, M.Ag

Oleh:
Abdul Jamil                           (133611041)
Setya Suryaningsih                (133611057)
Rr. Mega Kurnia Pradani      (133611060)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
A.      Pendahuluan
Tasawuf merupakan cara menyucikan diri, meningkatkan akhlak dan membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kehidupan abadi. Unsur utama tasawuf adalah penyucian diri dan tujuan akhirnya adalah kebahagiaan dan keselamatan. Karena tujuan diciptakannya manusia oleh Allah SWT tidak lain hanyalah untuk beribadah atau mengabdikan diri kepada-Nya, sebagaimana telah disebut dalam Al-Qur’an (Q.S. Adz Dzariyat [51]: 56). Secara umum yang dikatakan pengabdian mencakup berbagai aktivitas manusia yang sifatnya baik (positif). Namun secara lebih khusus, sebagian orang melakukan praktek-praktek ibadah yang lebih maksimal, dan menurut mereka keadaan seperti itu adalah sebaik-baik upaya mendekatkan diri kepada Allah.
Sebagaimana yang telah dijalani oleh beberapa tokoh besar sufi yang menjalani hidupnya penuh dengan ketaqwaan serta manjalankan beberapa maqam dan dikaruniai berbagai hal sehingga menjadikan hidupnya penuh dengan kebahagiaan baik didunia maupun di akhirat. Mereka merasa sangat dekat dengan tuhan-Nya.
Oleh karena pentingnya hal tersebut, makalah ini akan membahas tentang tasawuf  beserta maqamat dan ahwalnya yang harus ditempuh oleh seorang muslim untuk mencapai kedudukan yang sangat mulia di mata Allah SWT.

B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana pengertian Maqamat dan Akhwal dalam Tasawuf?
2.         Apa saja pembagian maqamat dalam tasawuf?
3.         Apa saja pembagian akhwal dalam Tasawuf?


4.         Apa perbedaan Maqamat dan akhwal dalam Tasawuf?




C.      Pembahasan
1.         Pengertian maqamat dan akhwal dalam tasawuf
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia.[1] Maqam adalah hasil usaha manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntutan dari segala kewajiban.[2] Istilah ini kemudian digunakan oleh para sufi untuk berada dekat dengan Allah SWT.
Ahwal adalah  jamak dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan. Secara istilah Ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati. Disebut sebagai hal karena keadaannya yang tidak tetap dan terus berubah. Hal masuk dalam hati seseorang sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah.
Maka sebagaimana dikatakan al-Qusyairi, bahwa pada dasarnya maqam adalah upaya (makasib) sedang hal adalah karunia (mawahib). Sehingga kadangkala hal datang pada diri seseorang dalam waktu yang cukup lama dan kadang datang hanya sekejap.

2.         Pembagian maqamat dalam tasawuf
Untuk jumlah tingkatan maqamat yang harus ditempuh, para sufi untuk sampai menuju Allah, di kalangan sufi tidak sama pendapatnya. Namun ada maqamat yang disepakati oleh para sufi, yaitu at-taubah, al-zuhud, Wara’, al-faqr, ash-shabr, at-tawakkal, dan ar-ridlo.
a.       At- Taubah
At-taubah berasal dari kata taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud para sufi adalah memohon ampunan atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut., yang disertai dengan amal kebajikan. Taubat  ini adalah taubat yang sebenarnya yaitu taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi.[3]
Mayoritas sufi berpendapat jika taubat merupakan sebuah perhentian awal di jalan menuju Allah SWT. Sedangkat taubat dapat diklasifikasikan menjadi 4 tingkat, yaitu:
1.         Tingkat terendah taubat menyangkut dosa-dosa yang dilakukan oleh jasad atau anggota badan.
2.         Tingkat menengah menyangkut dosa-dosa yang ada pada jasad dan menyangkut pada pangkal dosa-dosa seperti dengki, sombong, dan riya’.
3.         Tingkat yang lebih tinggi, taubat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah.
4.         Tingkat yang terakhir, taubat berarti penyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah SWT. Taubat pada tingkat ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu selain yang dapat memalingkan dari jalan Allah SWT.
Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang menganjurkan untuk bertaubat, di antaranya Firman Allah SWT:

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.... ( Q.S Ali Imron [3]: 135).
  
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S An nur [24]: 31).
b.      Az-Zuhud
Secara harfiah az-Zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Sedangkan para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian zuhud, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa zuhud adalah meninggalkan dunia dan hidup kematerian di dalam  masalah yang haram, karena halal adalah sesuatu yang  mubah dalam  pandangan  Allah, yaitu orang yang diberikan nikmat berupa harta yang halal, kemudian  ia bersyukur dan meninggalkan dunia dengan  penuh kesadarannya. Sebagian ada pula yang berpendapat bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang haram sebagai suatu kewajiban.
            Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh dunia.[4] Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan, pertama (terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga (tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah SWT. Orang yang berada pada tingkatan tertinggi ini memandang segala sesuatu, kecuali Allah SWT, tidak mempunyai arti apa-apa.[5]
Orang yang zuhud lebih mengutamakan kehidupan akhirat yang kekal dibanding kehidupan dunia yang fana. Sebagaimana firman Allah SWT:


Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (Q.S Al An’am [6]: 32).

Padahal kenikamatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) akhirat hanyalah sedikit. (Q.S at-Taubah [9]:38).
Ayat-ayat tersebut memberi petunjuk bahwa kehidupan dunia hanyalah sekejap dan tidak sebanding dengan dunia akhirat yang kekal dan abadi.
Selanjutnya orang yang zuhud memiliki beberapa tanda. Imam Al-Ghazali memberi 3 tanda atas sifat zuhud ditinjau dari sisi batin.[6]:
1)      Tidak merasa bahagia dengan wujudnya harta dan tidak merasa susah atas ketiadaan harta tersebut.
2)      Tidak ada bedanya antara orang yang mencala dan memuji.
3)      Hatinya merasa tenang hanya jika tertuju kepada Allah dan yang mendominasi hatinya adalah taat.
Karakter dasar manusia secara umum adalah memiliki rasa cinta. Cinta yang tertanam dalam hati ada kalanya cinta kepada Allah dan cinta pada dunia, yaitu semua hal yang berpotensi bisa memalingkan hati jauh dari-Nya. Dengan demikian, untuk menuntaskan sifat zuhud, seseorang harus dikuasai rasa cinta pada Allah supaya tidak ruang lagi dalam hatinya untuk cinta dunia. Maka ketika seseorang sudah memiliki rasa cinta dan  merasa tenang atas zat cintanya kepada Allah, ia akan selalu tersibukkan dengan-Nya dan meninggalkaan yang lain (dunia & isinya).
c.       Wara’
Secara bahasa wara’ berarti menjauhkan diri dari dosa serta menahan dari hal-hal syubhat (tidak jelas halal haramnya) dan maksiat. Sedangkan menurut istilah, wara’ adalah menjauhi perkara syubhat[7].
Wara’ adalah maqam yang sangat mulia dan luhur. Secara tidak langsung makna wara’ telah tersirat dalam Al-Qur’an. Diantaranya terdapat dalam Firman Allah SWT:
   
 (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. padahal dia pada sisi Allah adalah besar”(Q.S An Nur[24] :15).
Bahkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas r.a, Nabi mencontohkan sendiri bagaimana perilaku seorang wira’i:
وعن أنس رضي الله عنه : أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلم وَجَدَ تَمرَةًفِي الطَّرِيقِ، فقال : لَولاَ أنيِّ أخَافُ أن تَكُونَ مِنَ الصَّدَقَة لأكلتُهَا)متفقٌ عليه(
Nabi menemukan kurma dijalan. Kemudian, beliau berkata,“Andai saja aku tidak khawatir bahwa kurma ini merupakan bagian dari zakat, pasti aku akan menemukannya.(HR Bukhari & Muslim)
Wara’ merupakan salah satu sifat pengendalian diri untuk menjaga kesucian jiwa raga karena dengan sifat ini seseorang menjauhi perkara syubhat apalagi sampai perkara yang bersifat haram. Sehingga ketika seorang salih memang benar-benar berusaha menempuh dan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi larangan  Allah dari segala hal yang masih meragukan dengan benteng sifat wara’, niscaya sifat yang mulia ini akan menjadi karakter dan kepribadian yang luhur yang mendarah daging. Sampai anggota tubuhnya pun akan bisa menjadi benteng yang tangguh bagi dirinya untuk menjaga jernih, segala ucapan, tingkah laku, ide dan kreativitasnya mengandung hikmah dan manfaat untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain.
Menurut Imam As-Sarraj, Ahli Wara’ diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan:[8]
1)             Tingkatan  Pertama
Golongan yang memiliki sifat wara’ dalam  menjauhi perkara syubhat, yaitu sifat diantara halal dan haram  yang  sudah bersifat mutlak kejelasannya. Artinya, apapun yang dikonsumsi seorang hamba hanyalah perkara yang sudah jelas kehalalannya dan tidak menyentuh sama sekali perkara yang haram murni. Tingkatan  ini sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Sirin. “Tidak ada sesuatu yang lebih mudah bagiku kecuali tingkatan wara’ ini ketika ada sesuatu yang meragukan.”
2)             Tingkatan  Kedua
Wara’nya Arbab Al-qulub (golongan yang memiliki hati yang bersih) dan mutahakqiqin (golongan yang memiliki keyakinan yang  kuat), yaitu menjauhi segala hal yang bersumber dari hati yang berpotensi membuat hati menjadi gelisah dan bergejolak ketika mengambil perkara yang syubhat. Artinya, bukan hanya berhubungan  tentang  kejelasan halal dan haramnya, bahkan bila ada sesuatu yang memang sudah diketahui kejelasan halal dan haramnya, bahkan bila ada sesuatu yang memang sudah diketahui kejelasan sifat halalnya, tapi sesuatu tersebut bisa menimbulkan keraguan dalam hati, maka perkara yang halal pun harus dia jauhi. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah: “Dosa adalah segala sesuatu yang mengganjal dalam hatimu”.
3)             Tingkatan Ketiga
Wara’nya arifin (ahli makrifat) dan Wajidin (golongan yang mencintai dan merasakan menemukan Allah). Ini diungkapkan Abu sulaiman Addarani. “Segala hal yang bisa memalingkan dari Allah merupakan kejelekan dan kesialan bagimu”. Kedudukan ini mengindikasikan bahawa segaala macam apapun, meskipun perkara yang halal murni, bila memiliki potensi untuk bisa memalingkan dari Allah tetap harus diajuhi.
Dari tiga tingkatan yang telah dipaparkan di atas, kedudukan pertama merupakan wara’ yang umum. Yang kedua, orang yang khusus. Sedangkan yang ketiga adalah khusus al-khusus (istimewa).


d.      Al-Faqr
Secara literal, faqr (selanjutnya ditulis fakir) berarti butuh. Menurut terminologi tasawuf,  faqr adalah suatu  keadaan dimana hati tidak butuh kecuali kepada Allah.[9] Makna fakir tersirat dalam Al-Qur’an surat Fatir ayat 15:
   
Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji (Q.S Al Fatir []: 15).
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah diberikan oleh Allah pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan keajiban-kewajiban.[10] Sikap fakir penting dimiliki orang yang berjalan menuju Allah SWT. Karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan orang untuk berbuat kejahatan dan sekurang-kurangnya membuat jiwa menjadi tertambat pada selain Allah SWT.
Maqam ini sangat mulia. Rasulullah sendiri lebih memilih hidup fakir daripada hidup bergelimangan harta meskipun telah ditawarkan pada beliau tahta dan kehidupan mewah sebagaimana Nabi Sulaiman.
Mayoritas para nabi yang mendapat sifat khususiyah (ketertentuan) berupa karamah dan keunggulan yang diberikan Allah mengalahkan semua mahkluk yang ada pada fuqara (orang-orang yang fakir). Sampai merekapun tidak menemukan bekal hidup dan tidak menguasai atas sesuatu dari harta dunia. Mereka merupakan teladan bagi umatnya dalam sifat fakir,
e.       Ash-shabr
Secara harfiah sabar berarti tabah hati. Sabar merupakan menjalankan perintah-perintah Allah dalam menjauhi segala larangannya dan dalam menerima semua cobaan yang ditimpakan Allah kepadanya dan sabar dalam menunggu pertolongan Allah. Sabar dibagi menjadi dua yaitu sabar sebagai pengekangan dari tuntutan  nafsu dan amarah (ash-shabr an-nafs) dan sabar badani yaitu menahan terhadap penyakit fisik (ash-shabr al-badani).[11]
Sabar sangat dianjurkan dalam ajaran al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul  dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. (Q.S Al-Ahqaf [46]: 35).
   
Bersabarlah dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. ( Q.S an-nahl [16]: 127).
Menurut ali bin Abi Thalib bahwa sabar itu adalah bagian dari iman sebagaimana kedudukannya labih tinggi dari jasad. Hal ini menunjukkan bahwa sabar sangat memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.
f.         At-Tawakal
At-Tawakal atau Takawal sering sekali diartikan sebagai suatu sikap pasrah kepada Allah SWT setelah melakukan sebuah usaha atau rencana. Sebagaimana firman Allah:

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (Q.S. Ali Imron[3]:159).           
Secara etimologi tawakal berasal dari kata  توكّل- يتوكّل- توكّلا yang berarti berserah diri, pasrah sepenuhnya[12]. Secara terminologi banyak para ahli yang berpendapat diantaranya menurut Sahl bin Ab-dullah, tawakal adalah terputusnya kecenderungan hati selain Allah SWT, sedangkan menurut Dr.Yusuf Qardhawi cenderung mendefinisikan tawakal dari makna dasarnya, yakni menyerahkan dengan sepenuhnya. Sehingga seseorang yang telah menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, tidak akan ada keraguan tentang apapun yang menjadi keputusan Allah. [13]
Akan tetapi, bagi kaum sufi pengertian tawakal itu tidak cukup hanya sekedar menyerahkan diri seperti itu. Tawakal adalah menyerahkan bulat kepada kuasa Allah. Jangan meminta, jangan menolak, dan jangan menduga-duga. Nasib apapun yang diterima adalah karunia Allah.[14] Sehingga seseorang yang ada pada maqam tawakal akan merasakan ketenangan dan ketentraman. Ia senantiasa merasa mantap dan optimis dalam bertindak. Selain itu hal yang dirasakan oleh orang yang tawakal adalah kerelaan yang penuh atas segala yang diterimanya.
g.        Ar-Ridha
Banyak orang mengartikan ridha sama dengan ikhlas. Secara Harfiah ridha berarti “rela” menerima, tawakal dengan kerelaan hati. Sedangkan  secara terminologi ridha berarti menerima dengan sepuas-puasnya apa yang dianugerahkan oleh Allah, Bahkan setiap penderitaanpun dirasakan sebagai suatu anugerah. Menurut al-Nun, tanda-tanda orang yang sudah ridha itu ada tiga yakni:
1)             Mempercayakan hasil usaha sebelum terjadi ketentuan,
2)             Lenyapnya rasa gelisah sesudah terjadinya ketentuan,
3)             Dan cinta yang bergelora dikala turunya malapetaka.
Lebih jauh berbicara masalah ridha, Allah berfirman:

 Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-nya.( Q.S. Al-Bayyinah[98]:8).
Dari ayat ini tampak jelas bahwa adanya timbal balik, artinya keridhaan itu terjadi dua arah yaitu Allah ridha terlebih dahulu kepada manusia dan kemudian manusia ridha kepa-Nya, sebagaimana telah tergambarkan pada ayat diatas.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ridha adalah kondisi kejiwaan yang senantiasa selalu menerima atas segala karunia yang telah diberikan atau musibah yang ditimpakan kepadanya dan ia akan selalu merasa senang dalam setiap situasi atau kondisi

1.        Macam-macam ahwal
Dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat dikalangan kaum sufi. Adapun akhwal yang paling banyak disepakati adalah; al-muroqobah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’minah, as-shauq, al-musyahadah dan al uns.
a.       Al-Muqarobah
         Muraqabah juga diartikan di kalangan para sufi sebagai mawas diri. Artinya meneliti dan merenung apakah tindak tanduk setiap harinya telah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah atau bahkan menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.
Muraqabah terbagi kepada tiga tingkatan yaitu:
1)             Muraqabah al-qalbi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap hati, agar tidak keluar dari pada kehadirannya dengan Allah.
2)             Muraqabah al-ruhi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap ruh, agar selalu merasa dalam pengawasan dan pengintaian Allah.
3)             (Rahasia) agar selalu meningkatkan amal ibadahnya dan memperbaiki adabnya.[15]
Ahli-ahli tasawuf berkata:
من رقب الله  خواطره عصمه الله تعالى جوارحه
“Barangsiapa yang muraqabah dengan Allah dalam hatinya, maka Allah akan memeliharanya dari berbuat dosa pada anggota tubuhnya”.[16]

b.    Al-Khauf
Khauf dikatakan  sebagai ungkapan derita hati dan  kegundahan terhadap apa yang akan dihadapi. Sehingga mampu mencegah diri dari bermaksiat dan mengikatnya dengan bentuk-bentuk ketaatan.  Untuk memunculkan rasa Khauf seseorang harus mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukan sambil merasa khawatir kalau-kalau Allah tidak mengampuninya, khawatir kalau-kalau masih tergoda setan dalam setiap desahan nafasnya. Dengan perasaan seperti ini sang sufi akan berusaha agar sikap dan perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah.
Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya adalah:
1)             Tingkatan ­Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
2)              Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
3)             Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf qashir dan mufrith.[17]
c.     Ar-Raja’
Menurut kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf  berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang hati menaati sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapan benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, sementara ia sendiri tenggelam dalam  lembah  kemaksiatan, harapannya sia-sia. Sebagaimana Firman Allah SWT:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.Al-Baqarah [2]: 218) .
Ada tiga hal yang dipenuhi oleh orang yang raja’ terhadap sesuatu:
1)        Cinta kepada apa yang diharapkannya,
2)        Takut akan kehilangannya,
3)        Berusaha untuk mencapainya.[18]
Raja’ yang tidak disertai dengan tiga perkara di atas, hanyalah angan-angan semata. Setiap orang yang ber-raja’ pastilah ia orang yang ber-khauf (takut).
d.    ath-thuma’minah
Thuma’minah adalah rasa tenang, tidak was-was atau khawatir. Seseorang yang telah mencapai thuma’minah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta bersih ingatanya.
Thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan:
1)        ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba berzikir, mereka merasa tenang karena buah dari berzikir adalah terkabulnya doa-doa.
2)        ketenangan  badi orang-orang khusus. Mereka di tingkat ini merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa.
3)        ketenangan bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan di tingkat ini mereka dapatkan karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan keagungan-Nya.
e.    As-shauq
Secara literal, syauq berarti lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Menurut Abu Utsman siapa yang cinta kepada Allah dia akan merindu hendak berjumpa dengan-Nya. Rasa rindu tak mungkin ada pada yang mencinta. Jika sang hamba sudah mencapai derajat syauq ini mati rasanya mudah dan ringan karena kerinduan kepada Tuhannya dan harapan hendak berjumpa dengan-Nya.


Menurut Al Sarraj orang yang merindu itu terbagi atas tiga golongan:
1)        Pertama adalah mereka yang merindu kepada janji Allah atas para kekasih-Nya tentang pahala, karamah, keutamaan, dan keridlaan-Nya.
2)         Kedua, mereka yang rindu kepada kekasihnya karena cintanya yang mendalam dan bersemayamnya rindu itu hendak bertemu dengan kekasihnya.
3)        Ketiga, mereka yang menyaksikan kedekatan Allah terhadap dirinya, Allah senantiasa hadir tidak pernah pergi, maka hatinya merasa senang walau hanya menyebut nama-Nya saja.[19]
f.     Al-musyahadah
Dalam perspektif tasawuf, musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat-nya dengan mata kepala. Seorang sufi bila sudah mencapai musyahadah apabila sudah bisa merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam  hatinya dan seorang sudah tidak menyadari segala apa yang telah terjadi, segalanya tercurah hanya kepada  Allah. Dalam keadaan seperti itu seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, dimana seorang sufi seakan akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbul rasa cinta kasih,
g.      Al-Uns
Dalam pandangan sufi Uns adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi, dalam keadaan seperti ini sufi merasa tidak ada yang dirasakan, tidak ada yang di ingat, kecuali Allah.
Seseorang yang merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, hamba yang suka merasakan suka cita berzikir mengingat Allah dan merasakan gelisah disaat lalai. Kedua seorang hamba yang senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan hati, dsb. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak melihat lagi suka cita karena adanya wibawa kedekatan kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan suka cita.

2.        Perbedaan Maqamat dan akhwal dalam Tasawuf
Pada dasarnya ahwal dan maqamat merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Ahwal merupakan karunia dari Allah SWT sedangkan maqamat merupakan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Beberapa Perbedaan antara Maqamat dan akhwal dalam Tasawuf adalah:
a.         Maqamat bersifat tetap, sebab untuk mencapai tingkatan maqam yang lebih tinggi, seseorang masih menguasai tingkat maqam sebelumnya, sedangkan ahwal sifatnya sementara.
b.        Maqamat merupakan suatu pencapaian dari hasil dari perjuangan spiritual yang panjang, sedangkan akhwal bukanlah hasil dari perjuangan, melainkan anugerah dari Allah SWT yang datang begitu saja.

D.      Kesimpulan

1.      Di dalam Tasawuf mengenal adanya maqamat dan akhwal. Maqamat yaitu hasil usaha manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti sedangkan akhwal adalah keadaan spiritual yang menguasai hati sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah oleh Allah SWT kepada hambanya.
2.      Pembagian maqamat secara umum adalah at-taubah, al-zuhud, Wara’, al-faqr, ash-shabr, at-tawakkal, dan ar-ridlo.
3.      pembagian akhwal secara umum adalah al-muroqobah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’minah, as-shauq, al-musyahadah dan al uns.
4.      Maqamat dan akhwal merupakan yang saling berkaitan, Ahwal merupakan karunia dari Allah SWT sedangkan maqamat merupakan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedangkan perbedaan antara maqamat dan akhwal adalah maqamat bersifat tetap, sedangkan akhwal bersifat sementara, Maqamat merupakan suatu pencapaian dari hasil dari perjuangan spiritual yang panjang, sedangkan akhwal dari anugerah dari Allah SWT.

E.       penutup

Demikianlah makalah yang kami buat, kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, untuk itu kami mohon kritik dan saran demi perbaikan makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membacanya. Amin.

Daftar Pustaka
Ahmad, Athoullah. Diktat Ilmu akhlak dan ilmu tasawuf, (Serang: IAIn Sunan Gunung jati, 1985).
Anwar, Rosihan, Akhlak Tasawuf. (Bandung: Pustaka Setia, 2010).
Chusnan, Masyitoh. Tasawuf Muhammadiyah, (Jakarta: Kubah Ilmu, 2009).
Jamil, Muhammad. Akhlak tasawuf, (Ciputat: Referensi, 2013).
Muhammad, Hasyim. Dialog Antara  Tasawuf dan Psikologi, (Yogyakarta: kerjasama Walisongo Press dengan Pustaka Pelajar, 2002).
nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983).
nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf dan karakter mulia. (Jakarta: Rajawali press, 2013).
Siregar, Rivay. Tasawuf; Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufistime, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).
Siswa, Purna. Jejak Sufi, (Kediri: LIrboyo Press, 2011),
Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Pres. 2011).
http://download.portalgaruda.org/article.php diakses pada minggu, 24 Mei 2015 pukul 09.00 WIB.
http://makalah-ilmiah.blogspot.com diakses pada minggu, 24 Mei 2015  pukul.10.00 WIB.





[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990). Hlm. 362.
[2] Muhammad Jamil, Akhlak tasawuf, (Ciputat: Referensi, 2013). Hlm. 73.
[3] Harun nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983). Hlm. 67.
[4] Abuddin nata. Akhlak Tasawuf dan karakter mulia. (Jakarta: Rajawali press, 2013). Hlm. 169.
[5] Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf. (Bandung: Pustaka Setia, 2010). Hlm. 200
[6]Purna Siswa, Jejak Sufi, (Kediri: LIrboyo Press, 2011), hlm. 75
[7]Purna Siswa, Jejak Sufi,  hlm. 68.
[8]Purna Siswa, Jejak Sufi,  hlm. 70.
[9]Purna Siswa, Jejak Sufi,  hlm. 76.
[10] Harun nasution. Falsafah..., hlm. 67.
[11] Athoullah Ahmad. Diktat Ilmu akhlak dan ilmu tasawuf, (Serang: IAIn Sunan Gunung jati, 1985), hlm. 109
[12]Masyitoh Chusnan. Tasawuf Muhammadiyah, (Jakarta: Kubah Ilmu, 2009), hlm.118
[13] Hasyim Muhammad. Dialog Antara  Tasawuf dan Psikologi, (Yogyakarta: kerjasama Walisongo Press dengan Pustaka Pelajar, 2002), hlm.45
[14] Rivay Siregar. Tasawuf; Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufistime, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.121
[15] http://download.portalgaruda.org/article.php diakses pada minggu, 24 Mei 2015 pukul 09.00 WIB
[16] M.Jamil, Akhlak Tasawuf, Hlm. 84.
[17] Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Pres. 2011), 266-267

[18] Rosikhan Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm.204.
[19] makalah-ilmiah.blogspot.com diakses pada minggu, 24 Mei 2015,  pukul.10.00 WIB.

0 Response to "Maqamat dan Akhwal"

Posting Komentar